Udara panas tiba-tiba berubah menjadi sejuk,
lembab oleh partikel-partikel air yang ikut terbawa, langit bergemuruh diikuti
kilat-kilat cahaya, butir-butir air mulai turun dari langit menuju bumi,
semakin lama semakin deras jatuh membasahi kota Surabaya, bau tanah yang basah
begitu menenangkan.
"Mereka adalah orang pertama yang
mengkorek-korek telinga saya tentang Islam, semua mereka berikan selama saya
berproses menjadi seorang mualaf, bahkan memberikan tempat tidur ketika saya
harus diusir dari rumah oleh kedua orangtua" aku ustad mantan pastur itu,
sambil memandang takzim dua sahabat yang sudah lama tak ditemuinya.
Gemuruh langit semakin keras, mengikuti
pernyataan Sang Ustad, seolah-olah membenarkan pernyataan yang dikeluarkan
olehnya.
"Ayo Pak Ichal (bukan nama
sebenarnya) dan Pak Pri (juga bukan nama sebenarnya) maju, mungkin ada
yang mau disampaikan." panggil Ustad Banu kepada sahabat-sahabatnya.
Yang dipanggil malu-malu maju ke depan setelah
sebelumnya sempat menolak panggilan itu, yang berani maju hanya satu, Pak
Ichal.
"Dulu kami yang mengkorek-korek telinganya
tentang Islam, sekarang malah dia yang jadi ustad." cerita Pak Ichal
diikuti tawanya yang terkekeh-kekeh.
Aku, yang kebetulan ikut serta dalam pengajian
rutin dua minggu sekali di rumah Ustad Banu masih sibuk mennyeka keringat
akibat udara panas sebelum hujan tadi. Tak ku sangka-sangka, kegiatan yang baru
ku ikuti sekitar sebulan lalu itu tiba-tiba berubah menjadi ajang nostalgia.
Mengharu biru, mencuri perhatian, kalau saja itu akting, Sang Ustad pasti
mendapat piala oscar sebagai pemeran utama terbaik dan si sahabat sebagai
pemeran pembantu terbaik, tapi aku terlalu sibuk dengan baju yang basah oleh
keringat. Dua adik kelas yang ku ajak kompak dengan peserta lain yang masih
terdiam, takzim melihat pemandangan itu.
Sesaat sesudah aku selesai dengan urusan
menyeka keringat, Pak Ichal telah selesai dengan cerita singkatnya. Begitu
mengibanya, peserta kajian yang tiba-tiba berubah menjadi penonton itu sampai
lupa memberikan tepuk tangan tanda apresiasi. Di tengah suasana yang kosong,
Ustad Banu berdiri memecah suasana, berjalan mantap menuju ke arah sahabatnya,
tanpa banyak bicara, dipeluknya sahabatnya itu, wajahnya yang putih itu
memerah, erat sekali pelukannya, tanda cinta dan terimakasih yang tak
terhingga. Sang Sahabat tak tinggal diam, dibalasnya pelukan itu penuh cinta,
tak kurang dari apa yang ditunjukkan oleh Sang Mantan Pastur yang
diselamatkannya itu.
Aku yang sudah selesai dengan masalah keringat
tiba-tiba terbawa suasana, terhanyut dalam adegan klimaks itu, ujung mataku
sudah basah oleh air mata yang terpaksa ku tahan, apa boleh buat, daripada
menjadi cerita dua junior yang mungkin saja ember kepada junior lain sebagai
bahan bicara di masjid kampus besok siang. Si Senior Paling Sok menangis.
Bunyi hujan diatas atap mengiringi adegan tersebut, harmoninya lebih indah dari melodi kamar
yang termahsyur itu. Udara dingin nan lembab masuk lewat
pintu menuju lorong rumah, sempurna menyentuh dengan lembut wajah-wajah para
penghuni dan pengunjung rumah. Sungguh, suasana sedih bercampur ketenangan yang
datang berkat berkah Tuhan yang turun dari langit. Mengharukan. Sang Aktor
Utama masih berpelukan dengan Sang Pemeran Pembantu.
***
Siang itu, dua pekan sebelum bulan Ramadhan,
keadaan mulai canggung di beranda masjid kampus. Bunga Pohon Sono yang
berguguran menguningkan petak demi petak paving
block di halaman belakang masjid, selalu begitu setiap bulan suci itu akan datang. Di tengah-tengah
lalu lalang penghuni kampus, aku masih bingung tentang apa yang harus aku
lakukan. Setelah aku melemparkan kalimat "naas" itu, si Darius mulai
berubah raut wajahnya, ada setitik air bening di ujung matanya.
"Saya kangen Kakak Mas, jarang-jarang liburan lebaran dia pulang ke Samarinda. Saya berat banget harus menunda kepulangan, saya tahu ini amanah, tapi..." Darius mulai setengah terisak.
Jajaran pengurus harian sudah mempercayakan amanah sebagai pendamping kegiatan Sambut Maharu (Mahasiswa Baru) kepadaku, sudah barang pasti berbarengan dengan amanah mengkondisikan para PJ (penanggung jawab) yang pastinya bakal mudik. Maklum, masuknya mahasiswa baru pasti identik dengan tahun ajaran baru. Aku tahu betul perasaan seperti ini, liburan yang sudah direncanakan, wajah-wajah sanak saudara yang terbayang-bayang, janji-janji kongkow bareng teman-teman lama di kota asal. Anak rantau mana yang tak sedih kalau harus menunda kebahagian-kebahagian itu? Aku ingat betul ketika si Sandy, ketua Ramadhan di Kampus dua tahun lalu, menangis di depan forum rapat perdana, ia menangis sambil menguatkan PJ lain. Kalau project-projectku yang lain sudah selesai, akan kuceritakan kisah si Sandy nanti.
"Mas tahu perasaan Dek Darius, tapi mungkin saja Kakaknya bisa dibujuk agar lebih lama liburan di Samarindanya. Toh, kita juga akan liburan 2 minggu hingga Idul Fitri datang" kataku meyakinkannya.
Aku dengan tega harus membunuh kebahagian adik
kelasku itu, ini sudah H-2 bulan menuju kedatangan para Mahasiswa Baru, mustahil bagi kami,
jajaran pengurus harian, untuk me-reshuffle
ulang kabinet yang sudah terbentuk, hanya akan memakan banyak waktu. Tak sekali dua kali aku harus tega seperti ini.
Adik-adik kelas yang lain juga sudah menjadi korban “keganasan”-ku ini. Ya,
sungguh tega, sebagai tipe orang yang tidaktegaan sepertiku, hampir-hampir saja
aku luluh melihat setitik air diujung matanya mulai jatuh tak mampu menahan beratnya perasaan kecewa.
"Baiklah, Mas. Nanti saya kabari kakak dan orangtua dulu, Insya Allah saya bersedia menjadi Ketua Panitia Sambut Maharu ini" dalam kesedihannya, Darius paham betul gesture tubuhku yang hanya akan memberikan dua pilihan untuknya, kau terima atau akan ku lobby lagi sampai kau mau.
"Baiklah, Mas. Nanti saya kabari kakak dan orangtua dulu, Insya Allah saya bersedia menjadi Ketua Panitia Sambut Maharu ini" dalam kesedihannya, Darius paham betul gesture tubuhku yang hanya akan memberikan dua pilihan untuknya, kau terima atau akan ku lobby lagi sampai kau mau.
Bunga-bunga Pohon Sono masih terus
berguguran, seakan mengerti, harus ada yang dikorbankan demi keberlanjutan
sesuatu yang lebih besar.
Pengondisian PJ lain dan para staff lain juga berlangsung sama beratnya, mereka belum paham betul tentang urgensi agenda satu ini. Hanya janji libur 2 minggu sebelum Idul Fitri yang mampu aku tawarkan. Andai mereka tahu "barang dagangan" kami, kegiatan ke-Islaman, kurang diminati, trend mahasiswa kampus kami yang hedon akan kegiatan kemahasiswaan juga jadi ancaman bersama untuk semua unit kegiatan kemahasiswaan yang ada di universitas kami tercinta.
Bagi kami, para penggiat
unit kegiatan mahasiswa, ajang Masa Orientasi Bersama (MOB) yang diadakan
kampus setiap awal semester gasal bagaikan jaring besar milik para nelayan di lautan.
Ikan sedang banyak-banyaknya, sekali jaring, seratus sampai tiga ratus calon
anggota baru akan kau raih. Apalagi dakwah kampus yang berpondasikan kader,
mutlak bagi kami harus bergerak rapi dan massive.
Meleset sedikit saja, maka kegiatan dakwah ke depan akan sulit sekali
terlaksana. Oh iya, mungkin aku lupa cerita, kampusku ini kampus swasta,
terkenal......mahalnya se-Tanah Pahlawan ini, multikultural pula, bahkan
beberapa tahun kebelakang, muslim adalah minoritas di kampus ini, namun
kebijakan kampus tentang promosi, membuat orang-orang yang masuk ke kampus
mulai beragam. Beda sekali dengan kampus negeri yang muslimnya mayoritas dan
para alumni aktivis dakwah sekolahnya membanjir. Butuh sedikit perjuangan
ekstra bagi kami merekrut calon anggota baru. Tak cukup itu tantangan kami,
pengurus yang jumlahnya 90-an orang, harus tergerus arus mudik hingga yang
tersisa di kampus hanya tinggal 40-an orang dan itu pun harus di bagi, 20 orang
menggarap Sambut Maharu dan sisanya menggarap kegiatan Ramadhan di kampus.
Rapat demi rapat
terlaksana, mulai rapat besar sampai rapat via chatting online. Konsep mulai konsep tercipta, mulai dari direct selling sampai stand bazaar
bertemakan Minions (tokoh animasi
yang sedang terkenal). Adik-adik kelasku ini memang begitu kreatif. Sampai pada
suatu rapat, H-1 minggu sebelum kepulangan mereka untuk mudik. Tiba-tiba Darius
bertanya,
“Mas, ini sudah H-1 Minggu
sebelum kepulangan kami, konsep memang sudah ada tetapi sumber daya manusia
sangat kurang, teman-teman panitia Ramadhan juga jobdesk-nya sudah hampir selesai. Apa yang bisa membuat saya yakin
mereka akan kembali ke-Surabaya tepat waktu untuk membantu kami mengeksekusi
kegiatan ini?”
Aku cukup terkejut
mendengar pertanyaannya, hal yang memang belum ditemukan solusinya, bahkan di
forum para pengurus harian.
“Jangan pernah ragu kepada
teman-teman yang lain. Kalau Dek Darius yakin, mereka pasti akan pulang tepat
waktu” aku berusaha meyakinkannya sambil meyakinkan diriku sendiri.
Percaya pada orang
lain adalah jalan utama menuju kepercayaannya padamu
Angin laut menerpa wajahku
sayu-sayu, lembut. Kapal ferry yang mengantarkanku
menyebrangi Selat Alas menari ke kiri dan ke kanan bersama iringan ombak yang
tenang sepagi itu. Perjalanan kembali menuju Surabaya. Tiga minggu setelah
rapat yang membuatku ketakutan. Dengan sisa-sisa harapan yang ada, aku hanya
bisa mengirimkan sms motivasi akan perjuangan dengan penekanan agar para
pengurus kembali ke Surabaya secepatnya lalu kemudian hanya bisa berdo’a kepada
Dzat Yang Maha Mengabulkan Segala Do’a.
Tibalah satu minggu penuh
perjuangan itu, pekan MOB dimulai. Upacara pembukaan dimulai pukul 07.00 pagi,
sebagian besar mahasiswa baru sudah berbaris rapi dengan pernak-pernik khas
mahasiswa baru sedangkan sebagian kecil lain ada yang terlambat, terburu-buru
turun dari bus kampus, setelah turun pun masih harus berhadapan dengan kakak
kelas yang dengan wajah mengerikan yang dibuat-buat, membangun kedisplinan
katanya. Sepagi itu, aku, Darius, jajaran pengurus harian dan segelintir
pengurus yang telah pulang dari mudiknya mengurus masjid untuk keperluan ibadah
para mahasiswa muslim. Bangunan masjid kami yang tidak terlalu besar, bahkan
tidak cukup besar untuk disebut masjid itu tidak akan muat untuk 987 mahasiswa
baru yang beragama Islam. Di halaman belakang masjid, tempat pohon-pohon Sono
tumbuh dan menggugurkan bunga-bunganya kami hamparkan karpet-karpet, kami
bangun hijab (pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan) dengan kain hijau
warna kegemaranku. Kekhawatiranku belum berhenti, bahkan setelah sholat Dhuha
pun aku masih belum tenang, banyak sekali pengurus yang belum datang padahal
sebentar lagi akan ada rapat konsolidasi.
Setelah menunggu sekitar
45 menit dan masih belum ada pengurus tambahan yang datang, aku memutuskan
untuk segera memulai rapat konsolidasi. Pengurus yang hadir saat itu adalah
orang-orang yang memang sudah dipastikan hadir. Cakhra, Adhim, Ricky, Bina dan
beberapa akhwat (cewek) yang memang belum kuhapal namanya karena budaya
komunikasi antar ikhwan-akhwat yang sangat kami jaga. Biar kuceritakan sedikit
tentang empat ikhwan (cowok) yang hadir ini. Chakra, pemuda gondrong dengan
hati paling lurus yang pernah ku kenal, penggemar musik rock tapi paling
gampang tersentuh, adik kelas yang paling pertama kukenal saat MOB satu tahun
yang lalu. Adhim, cowok penggemar motor klasik, aku mengenalnya karena dia
adalan adik binaanku saat pembinaan mingguan (mentoring keagamaan), kalau
bicara sedikit tapi lumayan bandel. Ricky, adik kelas paling istiqomah datang
ke masjid kampus, kapan pun kalian mengunjungi masjid kampus, maka akan selalu
ada dia, paling handal dalam hal-hal teknis meskipun sedikit cerewet dan yang terakhir adalah
Bina, adik kelas yang tinggi badannya dua kali tinggi badanku, baru-baru saja
bergabung bersama kami di unit kegiatan kerohanian Islam tapi sudah terlihat
keseriusannya dalam berdakwah. Nanti kuceritakan kisah mereka masing-masing
ditulisan yang lain.
Sebagai Ketua Acara,
Darius membuka rapat konsolidasi itu, dia begitu profesional dan tenang, dengan
jumlah peserta rapat yang sedikit, tidak ada raut kecemasan di wajahnya.
Padahal beban berat sebagai seorang ketua panitia acara adalah yang paling
berat ketika meliahat peserta dengan jumlah yang minim tersebut. Di puncak
kepasrahanku, 30 menit setelah rapat dimulai, maka bermunculanlah
pengurus-pengurus yang lain, tidak bisa kuceritakan siapa saja meraka dan
kelebihan mereka masing-masing, yang jelas tiap-tiap kemampuan mereka selalu
mempermudah perjuangan kami. Dengan jumlah hampir 40 orang, senyumku mulai
berkembang.
Begitu rapat konsolidasi
selesai, kami siap bergerak. Ada yang menyiapkan minuman dingin untuk amunisi direct selling, memasang banner-banner
bertuliskan “Selamat Datang Maharu 2013”, menyiapkan rukhiyahnya dengan sholat
dhuha dan membaca Al-Qur’an. Sudah pukul 11.00, sebentar lagi mahasiswa baru
akan masuk jadwal ishoma (istirahat, sholat, makan).
Pukul 11.30, dari kejauhan
tiba-tiba pemandangan berubah hijau, kerumunan mahasiswa baru lengkap dengan
jas almamater hijau gelap khas kampus kami mulai terlihat didampingi Maping
(Mahasiswa pendamping, biasanya kakak kelas) menuju masjid. Beberapa juga ada
yang pelan-pelan menyingkir dari barisan. Bandel. Paling-paling mencari makanan
di kantin yang memang tak jauh dari masjid. Sampai di depan masjid, beberapa
pengurus mulai menawarkan jasa penitipan tas di depan masjid dengan ramah,
beberapa mengarahkan ke tempat wudhu, beberapa langsung melakukan direct
selling kepada mahasiswa baru yang masih mengantri wudhu yang memang panjang. Lima
belas menit berlalu, 11.45, adzan berkumandang khas suara berat si Bina.
Tiga puluh lima menit
telah berlalu, mahasiswa baru dan beberapa pengurus sudah sholat hinga kloter
kedua tetapi masih banyak sekali mahasiswa baru yang belum wudhu. Ternyata kran
wudhu tidak cukup banyak untuk 987 orang mahasiswa baru muslim. Ini
memperlambat proses sholat yang kami asumsikan hanya dua kloter. Semakin banyak
waktu yang habis untuk sholat berarti semakin sempit waktu buat kami untuk
melakukan direct selling karena
mereka harus kembali ke kelas pukul 12.30 yang berarti sepuluh menit lagi.
Padahal pendekatan secara personal dengan direct
selling merupakan strategi paling efektif selama ini. Namun apa mau dikata
kami tak mau berurusan dengan pihak kampus dengan alasan tidak mengindahkan
rundown acara MOB karena telah menahan mahasiswa baru untuk kembali ke kelas.
Maka direct selling hanya dapat dilakukan kepada beberapa orang yang telah
selesai sholat pada kloter ke-1 dan ke-2, sedangkan sisanya hanya dapat
didekati sebentar sebelum sholat kloter ke-3.
Seluruh mahasiswa baru
telah kembali ke kelas, tinggal kami para pengurus sedang sibuk dengan form direct selling kami untuk pendataan
mahasiswa baru yang nantinya akan di follow
up dalam berbagai acara UKKI. Jam 14.00 tepat, kami berkumpul kembali untuk
evaluasi hari ini. Seperti yang kuduga, beberapa akhwat protes tentang jumlah
kran wudhu yang sedikit karena menghambat proses sholat, apalagi jumlah
mahasiswa baru muslim wanita hampir tiga kali lipat yang laki-laki.
“Kita bikin saja kran
tambahan sederhana, pakai pipa paralon yang dilubangi dan selang” kata Ricky
memberi solusi.
“Setuju, di laboratorium teknik elektro juga ada solder listrik buat ngelubangin pipanya” Adhim setuju dengan Ricky.
“Setuju, di laboratorium teknik elektro juga ada solder listrik buat ngelubangin pipanya” Adhim setuju dengan Ricky.
Yang lain mulai
mengangguk-angguk tanda setuju.
“Emang ikhwannya siap
lembur malam ini?” tanya seorang akhwat ragu.
“Allahuakbar !” pertanyaan
akhwat tersebut dijawab kumandang takbir seluruh ikhwan, yang berarti iya.
Jadilah malam itu kami
membuat kran tambahan. Tidak ada ikhwan yang pulang, semuanya berkerja karena
malam itu beberapa amunisi tambahan seperti banner-banner, spanduk dan
hiasan-hiasan masjid juga harus dipasang. Si Ricky dengan cekatan mengukur
jarak antar lubang di pipa paralon yang baru dibelinya setelah magrib tadi.
Adhim sedang menyiapkan solder listriknya. Bina, Chandra dan beberapa ikhwan
sedang sibuk dengan spanduk dan hiasan-hiasan masjid. Sedangkan aku, Darius dan
ikhwan-ikhwan lain sedang belepotan lem dan potongan bambu untuk sebagai rangka
banner, malam itu benar-benar sibuk. Oh iya, beberapa juga ada yang sibuk
dengan gorengan hangatnya. Huft.
Pukul 22.00 kami baru
pulang.
Hari
pertama, kran wudhu tidak cukup banyak untuk 987 orang. Tapi kami tak kehabisan
akal.
Hari-hari berikutnya berjalan
dengan lancar berkat kran wudhu yang kami buat beberapa malam lalu. Proses direct selling berjalan lancar hingga
hari keempat, semakin banyak mahasiswa baru yang kenal dan nyaman dengan kami.
Bahkan ada yang sudah mulai tercium gerak-gerik tertarik ikut UKKI. Beberapa
ada yang benar-benar niat menanyakan tentang perkuliahan ke depan, calon-calon
mahasiswa teladan harapan bangsa. Ada juga beberapa pertanyaan konyol macam
dalam satu semester bisa bolos berapa kali? Kalau misalnya tidak ikut ujian
bisa lulus tidak? Dan lain-lain.
“Anak UKKI memang selalu
seramah ini?” tanya Wisnu, mahasiswa baru fakultas teknik ‘korban’ direct selling-ku.
Dengan senyum mengembang
dan meyakinkan aku menjawab, “iya, selalu seramah ini dan akan selalu begitu.
Makanya kalau ada apa-apa ke masjid saja, kami selalu disini.”
Tidak terasa, besok sudah
hari kelima.
Dirrect selling adalah langkah pertama dalam setiap perekrutan anggota
baru
Hari kelima adalah hari
paling menentukan karena ada dua agenda besar. Sarasehan kerohanian dan Bazaar
Ormawa (Organisasi Mahasiswa). Agenda-agenda ini adalah langkah selanjutnya
dari direct selling karena para
mahasiswa baru akan melihat kreasi dan kinerja UKKI yang kami ceritakan selama
pendekatan di masjid kampus. Jauh-jauh hari kami sudah menentukan siapa
pembicara paling pas untuk sarasehan dan tema paling keren untuk bazaar kami.
Terpilihlah Ustad Gaul dari Kediri dan Minions untuk menghias stand bazaar.
Sembilan ratus delapan
puluh tujuh mahasiswa baru muslim ramai merayap di halaman belakang masjid,
tempat pohon-pohon Sono tumbuh. Kuningnya bunga pohon Sono kalah dengan warna
putih pakaian maharu hari itu. Begitu ramainya, mereka sampai ada yang harus
duduk dipelataran fakultas ekonomi yang memang tidak jauh dari masjid. Beberapa
dari mereka bahkan ada yang harus duduk dirumput beralaskan spanduk-spanduk
bekas acara-acara kami dulu. Minuman dingin yang kami siapkan bahkan tidak
cukup. Beberapa dari mereka bahkan harus minum dari kran air wudhu (hehehe yang
ini becanda). Ramai sekali.
Sang Ustad Gaul dari
Kediri pun mulai beraksi, dengan gayanya yang kocak, pemahamannya tentang
remaja yang begitu up-to-date serta
kemampuannya menyenandungkan beberapa lagu band-band masa kini di usianya yang
udzur (maap Ustad, piss) begitu menarik perhatian. Tidak jarang ada yang
tertawa terpingkal-pingkal. Namun, tidak semua isi materinya adalah humor
karena ada beberapa penekanan ketika nada suaranya berubah yang berisi nasehat
dan dalil-dalil yang jelas dan lengkap. Sengaja kami memilih beliau karena
ingin membentuk mindset mahasiswa
baru bahwa kajian keislaman itu seru.
Di antara gelak tawa para mahasiswa
baru, para pasukan Minions sedang bersiap-siap di stand bazaar. Aku yang ikut
mendandani adik-adik kelasku itu mencuri-curi kesempatan untuk tertawa melihat
para Minions. Bagaimana tidak, walaupun tak 100% mirip tapi dandanannya begitu
menggelitik. Tidak konyol tetapi mengundang tawa. Aku harus hati-hati karena
tidak mudah membuat mereka menerima jobdesk
sebagai Minions, siapa tahu saja mereka berubah pikiran.
Setelah sholat Ashar, para
mahasiswa dengan instruksi panitia MOB mulai melakukan rally bazaar. Mereka diminta untuk melihat promosi ditiap-tiap
bazaar dan memberikan penilaian dengan cara memasukkan kupon kedalam kotak yang
sudah disiapkan. Kupon-kupon itulah yang menjadi parameter keberhasilan direct selling kami karena apabila
mayoritas korban pendekatan kami memberikan kuponnya berarti mereka sudah punya
ketertarikan kepada konten yang kami tawarkan. Sekalian kami mengincar kategori
Favourite UKM agar dapat tertokohkan sebagai ormawa yang tidak hanya bisa
berceramah tetapi juga profesional dan tidak kalah dengan UKM-UKM lain.
Tema Minions ternyata
berhasil, beberapa mahasiswa baru cewek yang memang gemar dengan tokoh animasi
itu berebut minta difoto bareng karakter kesayangannya itu dengan syarat
mem-vote kami dengan memberikan kupon. Yah, tidak bisa ketemu aslinya paling
tidak ketemu KW 2-nya. Meski pada akhirnya aku harus dievaluasi beberapa
pengurus harian karena mengancam jarak aman antara cowok-cewek karena seluruh
pasukan Minions adalah laki-laki.
Meskipun
tidak mirip Minions yang asli. Tema-tema kekinian paling disukai mahasiswa
baru.
Rally bazaar pun berakhir,
tinggal menunggu hasil akhir yang akan diumumkan saat acara pengumuman pukul
20.00 nanti. Para akhwat sudah pulang karena batas jam malam yang kami tetapkan
adalah 19.00 dan tersisalah kami para ikhwan yang menunggu hasil akhir sembari
melepas lelah di masjid karena aktifitas seharian. Suara band-band pengisi
acara penutupan begitu menggelegar dan meriah tetapi mengganggu aktivitas di
masjid, atas nama toleransi umat beragama maka kami hanya bisa menerima saja
karena beberapa kali lobby kami tidak
diindahkan panitia.
Tibalah saat yang dinanti,
pengumuman Stand Terbaik, Favourite Stand dan Aksi Terbaik. Tetapi karena
kelelahan, kami memilih mendengar pengumuman dari beranda masjid saja.
Pengumuman pertama adalah aksi terbaik yang dimenangkan oleh salah satu UKM
Bela Diri. Kemudian dilanjutkan Stand Terbaik, jantung kami mulai berdebar
meskipun bukan gelar yang kami kejar.
“Dan....yang mendapatkan
Stand Terbaik adalah........” pembawa acara mulai rese’, sengaja
mengulur-ngulur waktu.
Pemenangnya adalah salah
satu unit kampus yang menangani pelatihan dunia kerja pasca-kampus. Kami
sedikit kecewa.
Tibalah saat pengumuman
selanjutnya.
“Dan...yang mendapatkan
Favourite Stand adalah.....” pembawa acara kembali bertingkah.
“Setelah pesan-pesan yang
berikut ini...” candanya tanpa diikuti tawa mahasiswa baru yang memang sudah
mulai kelelahan.
“Unit Kegiatan Kerohanian
Islam !!!”
Kami berlari keluar masjid
menuju lapangan upacara tempat acara penutupan berlangsung. Ketua Umum kami,
Setiyoso, sudah naik ke atas panggung menerima penghargaan setelah sebelumnya ribuan
pandangan menuju padanya saat melakukan manuver sujud syukur. Sunnah yang
terasingkan dan baru-baru ini dipopulerkan kembali oleh Timnas U-19.
Kami tidak bisa berkata
apa-apa. Hanya ucapan syukur kepada Sang Maha Pemberi Nikmat.
Sebelum meninggalkan
panggung, lewat komando Setiyoso kami mengumandangkan takbir dan kembali
dilirik penuh keheranan oleh para mahasiswa baru dan panitia. Peduli apa.
Agama
ini datang dalam keadaan asing dan akan kembali juga dalam keterasingan.
Sungguh bahagia orang-orang yang merasa diasingkan (sabda Rasul dengan sedikit
modifikasi)
“Darius !...Darius...!”
Darius Sang Ketua Acara
dilemparkan ke udara oleh pengurus-pengurus lain. Tanda keberhasilannya sebagai
pemimpin di lapangan. Tapi aku yakin, tidak hanya Darius yang merasa berhasil
malam itu, seluruh pengurus lain dengan definisi bahagia yang berbeda-beda juga
turut bahagia malam itu. Aku rasa Darius paham sekali bahwa hasil-hasil yang
kami dapatkan selama lima hari ini adalah berkat hasil kinerja teman-teman yang
lain juga. Teman-teman yang sempat dia ragukan komitmennya. Raut wajah mereka
semua sama. Tidak ada yang terlihat lebih bahagia dari yang lain.
Setelah momen foto-foto,
kami duduk melingkar untuk berdo’a. Tanda syukur kami atas nikmat kecil Tuhan
malam itu. Bunga-bunga Pohon Sono masih terus berguguran. Tepat sesi do’a akan
dimulai kembang api perayaan penutupan MOB membakar langit malam. Jadilah kami
berdo’a di bawah hujan bunga dan bising semalam itu.
Dalam hatiku yang
kurendahkan dihadapan Allah malam itu, aku mohon maaf karena sempat meragukan
pertolongan-Nya yang akan selalu datang. Aku juga bersyukur dengan komplit dan
solidnya team Sambut Maharu tahun ini, karena segala sesuatu yang terjadi tak
hanya jadi bagian Sang Pemeran Utama (Darius) tetapi juga berkat alur cerita
yang diindahkan oleh hadirnya para Pemeran Pembantu.